Bolehkah Menjama’ Shalat Dikarenakan Macet?


Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara shalat Ashar dengan Zuhur dan Maghrib dengan Isya, baik itu dilakukan lebih awal pada waktu shalat yang pertama atau diakhirkan pada waktu yang kedua.

Bila dilakukan pada waktu yang pertama disebut jama’ taqdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua disebut jama’ ta’khir. Dibolehkan seseorang itu menjama’ shalat Zuhur dengan Ashar baik secara taqdim maupun ta’khir, begitupun dibolehkan menjamak Maghrib dengan Isya bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut ini:

1. Menjama’ di Arafah dan Mudzdalifah Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat Zuhur dan Ashar secara taqdim pada waktu zuhur di Arafah begitu pun antara Maghrib dan Isya secara ta’khir di Mudzdalifah hukumnya sunat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
2. Menjama’ Dalam Bepergian Menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu dari kedua waktu itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaaan, apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan.
3. Menjama’ di waktu Hujan Dalam sunannya Al Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi saw. Menjama’ shalat Maghrib dengan Isya apabila hari hujan lebat
4. Menjama’ Sebab Sakit Atau Uzur Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al Khathabi dan Al Mutawalli dari golongan Syafi’I membolehkan menjama’ baik takdim ataupun ta’khir disebabkab sakit, dengan alasan karena kesukaran pada waktu itu lebih besar dari kesukaran di waktu hujan.

Ulama-ulama Hanbali memperluas keringanan ini, hingga mereka membolehkan pula menjama’ baik taqdim mapun ta’khir karena berbagai macam halangan dan juga ketakutan. Mereka membolehkan orang yang sedang menyusui bila sukar baginya untuk mencuci kain setiap hendak shalat. Juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang ditimpa silsalatul baul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci yang mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya pribadi, bagi harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapatkan rintangan dalam mata pencariannnya sekiranya ia meninggalkan jama’.

Dalam syarah Muslim Nawawi berkata: beberapa imam membolehkan jama’ bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu kepentingan asal saja hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Hal ini dikuatkan oleh lahirnya ucapan Ibnu Abbas bahwa jama’ itu dimaksudkan agar tidak menyukarkan umat. Dasar hukum bolehnya menjama’ shalat terdapat dalam Hadis Nabi. saw. diantara hadis yang menjelaskan tentang menjama’ shalat adalah sebagai berikut:

دُفِعْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِالأَبْطَحِ فِي قُبَّةٍ كَانَ بِالهَاجِرَةِ، خَرَجَ بِلاَلٌ فَنَادَى بِالصَّلاَةِ ثُمَّ دَخَلَ، فَأَخْرَجَ فَضْلَ وَضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَقَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ يَأْخُذُونَ مِنْهُ، ثُمَّ دَخَلَ فَأَخْرَجَ العَنَزَةَ وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ سَاقَيْهِ، فَرَكَزَ العَنَزَةَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ الحِمَارُ وَالمَرْأَةُ

Artinya: “Aku pernah bertemu tanpa sengaja dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Abthah. Ketika itu beliau di tenda saat siang hari, Bilal keluar untuk mengumandangkan panggilan salat. Bilal kemudian masuk tenda, dan keluar lagi sambil membawa sisa air wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun berebut mengambil sisa air wudu tersebut. Bilal masuk tenda lagi dan keluar dengan membawa sebatang tongkat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar dan seolah-olah aku melihat cahaya pada kedua betis beliau. Beliau lalu menancapkan tongkat tersebut, kemudian salat Zuhur dua rakaat dan salat Asar dua rakaat, sedangkan keledai dan para wanita lewat di hadapan beliau.” (HR. Bukhari no. 3566 dan Muslim no. 503)

Dari hadis yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw., menjama’ shalat tidak hanya pada waktu dalam perjalanan, tetapi juga karena alasan lainnya seperti hujan lebat dan ketakutan. Bahkan pernah Nabi menjama’ shalat pada saat tidak ada alasan-alasan seperti di atas.

Oleh karena itu menjama’ shalat karena alasan macet dan kesibukan pada dasarnya dibolehkan berdasarkan hadis riwayat Ibn ‘Abbas yang menceritakan bahwa Nabi saw. pernah menjama’ shalat dalam keadaan tidak melakukan perjalanan dan tidak pula dalam keadaan ketakutan. Menurut Ibn ‘Abbas, perbuatan ini dilakukan oleh Rasul saw., agar shalat tersebut tidak memberatkan bagi umatnya. Tapi tentunya hadis ini tidak berlaku secara mutlak, dipastikan ada alasanalasan tertentu yang membuat Nabi saw menjama’ shalatnya walaupun tidak dalam perjalanan.

Perbuatan tersebut menurut Yusuf al-Qardhawi tidak boleh dijadikan kebiasaan, karena tujuannya hanya menghilangkan kesulitan bagi manusia dalam menjalankan ibadahnya. Misalnya seorang dokter yang melaksanakan operasi terhadap pasiennya yang tidak bisa ditinggalkannya, atau seorang polisi lalu lintas yang mendapat giliran tugas di jalan pada waktu menjelang Maghrib sampai setelah Isya (yang tentunya juga tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan seperti ini, baik dokter ataupun polisi tersebut, boleh menjama’ shalatnya untuk menghilangkan kesulitan yang mereka hadapi.

Sebab realitas sosiologis dan budaya masyarakat muslim kekinian, untuk memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan co pilot, dokter dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban shalat pada waktunya.

Dengan pola ta’alli (penentuan illat/sebab) terhadap hadis-hadis Nabi saw berkenaan dengan rukhsah salat dalam bentuk menjamak salat dengan berbagai keadaannya, maka kita secara penalaran dapat menghubungkan semua problematika kekinian tersebut di atas, dengan kata kunci yang sama dengan penyebab (illat) dibolehkannya menjamak shalat oleh Rasulullah saw, yaitu karena masyaqqat (kesukaran/kesulitan). Hal ini sesuai dengan kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dan addhararu yuzal (kemudharatan harus dihilangkan).

Alasan bolehnya mengqashar shalat lebih khusus dibandingkan dengan menjama’ shalat. Mengqashar shalat hanya dikhususkan bila dalam perjalanan. Oleh karena itu mengqashar shalat dalam keadaan macet dapat dilakukan untuk menghilangkan uzur atau kesulitan. Adapun mengqashar shalat dengan alasan kesibukan tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya.

Menjama’ shalat lebih umum dari mengqashar shalat. Menjama’ shalat boleh dilakukan karena alasan perjalanan, ketakutan, hujan lebat dan lain-lain. Sehingga menjama’ shalat ketikan ada kesibukan dan kemacetan dapat dilakukan bila uzur tersebut tidak dapat lagi dihindarkan, dengan syarat bahwa hal tersebut tidak dijadikan kebiasaan.

Sumber:

Kitab Fiqh al-Sunnah Karya Sayyid Sabiq
Kitab Sunan Abi Daud Karya Abu Daud
Kitab Min Hady al-Islam Karya Yusuf al-Qaradhawi
Fatawa al-Mu’ashirah Manshurah
View: 703

Post a Comment

0 Comments